Tradisi Rabu pungkasan atau yang biasa
kita sebut rebo wekasan, adalah tradisi turun temurun orang jawa yang
diperingati setiap hari rabu terakhir pada bulan Shafar. Hal itu lah
sehingga disebut sebaga rabu pungkasan, pungkasan yang dalam bahasa jawa
berarti paling terakhir. Hari ini diyakini masyarakat jawa sebagai hari
naas yang berarti turunnya bala dimulai dari hari rabu pungkasan bulan
Shafar tersebut. Namun seiring perkembangan pemikiran para ulama dan
study penggalian dalil dalil yang shahih, beberapa kalangan ulama banyak
yang tidak setuju dengan anggapan bahwa hari rabu pungkasan ini adalah
hari naas. Hal ini dikarenakan Allah tidak hanya menurunkan bala pada
hari ini saja namun disetiap waktu pun Allah akan menurunkan bala
tergantung takdir Allah, hanya saja rabu pungkasan adalah awal start
mulainya...begitulah kiranya anggapan pemikiran tentang rabu pungkasan
yang berkembang sampai saat ini. Anggapa hari naas pd hari rabu
pungkasan adalah anggapan masyarakat jahiliyah yang sudah semestinya
tidak bisa kita adopsi mentah-mentah. Dewasa ini kaum muslimin sudah
semakin berkembang pemikirannya, jadi sudah semestinya kita sebagai kaum
muslimin berfikir terlebih dahulu sebelum menerima suatu pemikiran,
apalagi yang berasal dari kaum terdahulu masyarakat jahiliyah. (Ririn
AR)
Bulan
Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam.
Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah
yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah
ciptakan untuknya.
Masyarakat
jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan
Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal
pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin
hingga saat ini.
Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,
"Tidak
ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak
pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan
pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau
menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ungkapan
hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud
meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka
berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa
bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.
Sakit
atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah.
Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun,
walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab
penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar
terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah
bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”.
Maksud
hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya
hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada
Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang
menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Dus,
zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir
Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan
takdir baik.
Empat
hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan
oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada
Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah
di hadapkan pada perkara-perkara tersebut.
Bila
seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut,
maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya
itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah
menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya.
Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya
dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah
atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi
seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya
bersandar hanya kepada Allah.
Penolakan
akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena
kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah
pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah
sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya
adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.
Muktamar
NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap
hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan,
sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang
tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar
al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut ini:
“Barangsiapa
bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk
ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui
keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan
petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak
berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal.
Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw.
Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka
berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Indikasi Kesialan dalam Quran dan Hadits
Mungkin
ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala, yang
artinya:’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya
azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan
kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus
menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma
yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).
Imam
al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian
itu (fi yawmi nahsin mustammir) tepat pada hari Rabu terakhir bulan
Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu
Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian
itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari
itu adalah kesialan yang terus menerus.
Istilah
hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat
dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45,
Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir
(Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”
Hadits
ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari
sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah
bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang
mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung
kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan
ditakdirkan Allah.
Bagaimana
dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur
Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur (penulis sendiri terus terang belum
mengetahui dan meneliti kebenaran nama dan kitab ini, bahkan dalam
beberapa tulisan kitab ini disebut dengan Kanzun Najah Was-Suraar Fi
Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhaar dan Kanju al-Najah wa al-Surur fi
al-Adiyati al-Lati Tasrohu al-Sudur) yang menjelaskan: banyak para Wali
Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa
pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi
dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan
Shafar.
Oleh
sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun.
Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di
mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali
lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas
masing-masing sekali; lalu setelah salammembaca do’a, maka Allah dengan
kemurahan-Nya akan menjag a orang yang bersangkutan dari semua bala
bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.
Mengenai
amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim,
Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang
menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat
(dikutip dengan penyesuaian):
Pertama,
tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada
hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu
terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus
menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Kedua,
tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian
ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara
syar’i.
Ketiga,
tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf
(untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat
sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya
adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Mengutip
pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang
hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan:
“Naas
yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang
mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa
setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna
dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga
bisa juga naas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap
sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas
yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang
beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini,
bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” Wallahu ‘A’lam. (Yusuf Suharto
Ketua Aswaja NU Center Jombang, Kontributor NU Online)
Setelah
mengenal apa makna dan sejarah rabu pungkasan, mudah-mudahan bisa
membuka cakrawala pemikiran pembaca seputar rabu pungkasan sehingga bisa
lebih mengenal dan memahami dari segi historinya, sebab musabab dan
faedahnya. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Salam Sharing By Words :)
Referensi:
http://ririnayurizki.blogspot.co.id/2015/12/mengenal-dan-memahami-tradisi-rabu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar